Bitcoin vs Tarif

Bayangan Bitcoin

Saya percaya pada visi yang kuat. Sebagai analis fintech yang dulu membuat model ML prediksi volatilitas BTC di Goldman Sachs, saya hargai ambisi—terutama jika disertai strategi nyata. Tapi mimpi ‘Amerika Dulu’ Trump soal Bitcoin? Rasanya lebih seperti retorika kampanye daripada kebijakan industri.

Jebakan Tarif

Pada 2 April, Trump terapkan tarif hukuman—55% untuk barang Cina dan 24–36% untuk produk dari Indonesia, Thailand, Malaysia—negara-negara tempat perakitan rig penambang utama oleh Bitmain dan MicroBT.

Ironinya: penambang AS yang bergantung pada mesin buatan Cina tiba-tiba hadapi biaya impor melonjak—padahal pesanan sudah dibuat berbulan-bulan sebelumnya.

Saya pernah lihat ini di finansial kuantitatif: saat model asumsikan input stabil tapi realitas lempar shock event—sistem runtuh lebih cepat dari waktu retrain.

Perang Hardware & Pemenang Tersembunyi

Respons pasar? Kacau—dan peluang. Auradine (berbasis Santa Clara) alami lonjakan permintaan klien seperti BTC setelah halving. CEO Rajiv Khemani bilang: “Kami tidak bersaing dengan Bitmain soal spesifikasi—kami bersaing dengan ketidakpastian.”

Mereka raih \(153 juta seri C dan dapat klien besar seperti MARA Holdings. Kenapa? Jika Anda bertaruh pada kedaulatan jangka panjang daripada efisiensi biaya—and negara Anda larang impor Cina besok—Anda tak ingin pegang pesanan senilai \)30 juta yang tiba-tiba dikenai pajak hingga lenyap.

Tapi jujur saja: Auradine belum bisa menyamai efisiensi chip atau harga Bitmain—at least not yet.

Energi vs Tarif: Medan Pertempuran Nyata

Di sinilah semuanya menarik—karena penambangan Bitcoin lebih tentang energi daripada perangkat keras. Dan di sini tarif hanya suara latar dibanding ancaman lain: AI memborong listrik secara masif.

Menurut Departemen Energi AS, tahun 2028 AI bisa konsumsi listrik sebanyak seluruh rumah tangga AS gabungan. Pusat data tidak hanya lapar—mereka kaya. Dan penambang? Kami satu-satunya yang masih bertahan—but only because kita pakai hidro murah atau gas tersisa dari ladang minyak Texas.

Kalau perusahaan AI tawarkan dua kali lipat harga per kWh… ya, packing atau berubah cepat. Bahkan Riot Platforms dan Core Scientific mulai bangun akselerator AI dari rig lama mereka—not karena benci BTC—but karena kelangsungan hidup mewajibkan fleksibilitas.

Jadi ya—tarif merugikan—but so does competition for scarce resources… especially when one side has funding Google-level and no moral compass about energy use.

Pergeseran Global Sudah Dimulai Sekarang

Hadapi tekanan ini, banyak penambang AS tak menunggu kejelasan—they pindah ke luar negeri atau skala turun total. Pintarnya: diversifikasi bukan pilihan; itu wajib untuk ketahanan dalam geopolitik volatil—or even worse—a sudden regulatory switcheroo from Washington DC.

Sementara itu—ya—the Chinese giants juga beradaptasi.Bitmain’s Irene Gao baru saja umumkan rencana bangun kapasitas produksi lokal di AS, secara efektif menghindari tarif sambil pertahankan dominasi.

Ini bukan proteksionisme—it’s evolution through adaptation.

Dan jujur? The idea that nationalizing mining infrastructure will somehow ‘save’ Bitcoin is naive at best—and dangerously optimistic at worst.

Yang kita butuh bukan lebih nasionalisme tapi kebijakan energi cerdas: insentif pajak untuk tambang hijau; kerja sama infrastruktur grid; jalur transmisi antar negara bagian lebih baik.

Itu benar-benar bisa turunkan biaya marginal—not arbitrary tariffs that punish both consumers and innovators alike.